Sepenggal Hati yang Telah Lalu

Biar Allah Saja yang Tahu


Dulu...
Saat masih kuliah, ada teman yang mengazamkan untuk menikahiku....
Tapi....Allah menghendaki lain.
Kelimpungan dia mengatakan, bahwa ibunya tidak merestuinya.
Air mataku menetes. Dan aku yakin dia juga menangis, karena di balik suaranya ada nada serak tanda lelaki menangis.
"Pulanglah, terima kasih atas keterusteranganmu. Ikuti apa kata ibu. Karena aku tidak ingin menikah tanpa ridlo beliau". 
Tidak mudah untuk berkata demikian. Tapi imanku membimbingku untuk mengucapkan itu. Aku berusaha ikhlas dengan ketetapan Allah, meski setiap sholat apalagi saat sholat malam, airmataku selalu mengucur deras. 
    Waktu terus berjalan, kuputuskan aku harus keluar dari kota yang sama, agar tidak terus mendengar kabarnya. Dan akupun sudah mulai bisa melupakannya.
Namun...., yang terjadi tidak seperti yang kurencanakan. "ukhti...ikhwan sholeh akan menikah" kabar disampaikan oleh sahabatku. Dan ternyata, hatiku berdebar juga. Sambil berusaha menutupi hatiku saat itu, aku ucapkan "Alhamdulillah...., dengan siapa?". Sahabat bilang. "Dengan Ukhti Sholehah, Ukhti kenal kok". Senyumku pun mengembang, tak tahu saat itu aku merasa sedih atau bahagia. Yang jelas, terucap dalam doaku, "semoga engkau bahagia akhi....".
    Aku terus mencari kesibukan. Beberapa kali aku dikenalkan dengan ikhwan agar aku segera menikah oleh sahabatku. Aku manut saja, karena kami satu guru, satu halaqoh. Namun tak ada yang cocok waktu itu denganku. Ada saja alasan supaya tidak berlanjut, dan aku juga tidak mengerti kenapa?
      Hidup sendiri dengan status masih gadis di kota yang terpisah dengan orang tua itu tidak mudah. Waktu itu aku sudah lulus kuliah. Aku dikejar-kejar anak ibu kosku dulu. Dan aku juga tidak mengerti kenapa selalu saja dia mendapatkan alamat dan telepon rumah yang aku tempati, meski aku berusaha pindah tempat. Aku menolaknya, karena aku tahu kwalitas ibadahnya. Padahal, dia sudah menjadi seorang pejabat keuangan negara dan tentunya dari segi harta tidak kekurangan. Awalnya dulu aku menganggap dia sebagai pamanku, karena usianya 17 tahun di atasku. Dia selalu datang setiap hari Sabtu, dan membawa oleh-oleh untuk kami warga kos milik ibunya. Tapi lama-lama perlakuannya kurasakan berbeda. Teman-teman selalu bilang kalau aku mendapat oleh-oleh lebih istimewa dari mereka. Dan akhirnya aku juga merasakan. Aku takut. Maka kuputuskan untuk pindah kos. Dan aku lakukan pindah kos sampai 3x. 
       Namun, tak kusangka, suatu ketika adek kos manggil, "mbak, ada orang nyari sampeyan. Paklik e pean paling Mbak..". Deg. Aku gak merasa punya paklik di kota ini..., dadaku berkecamuk. Aku pun menemui orang yang mencariku. Kulihat ada sosok bapak-bapak sendirian di ruang tamu, mengucapkan salam dan tersenyum. Salamnya pun kujawab, tapi kakiku gemetran, aku takut. Dan aku bingung, dari mana orang ini, anak ibu kosku  tahu kalau aku pindah kesini. Padahal sudah 3 tahun aku keluar dari kos-kosan milik ibunya. Dia mengajakku keluar. Dan kujawab halus, "Ngapunten, tugas saya banyak. Saya mau ujian". Waktu itu aku mau ujian skripsi. Dengan berbagai dalih dia berusaha mengajakku keluar untuk menemani dia makan dan membeli sesuatu untuk ibunya. Karena dia tahu, aku sangat patuh dan sayang pada sosok ibu, termasuk ibu kosku. Dengan raut kecewa, dia pamit, dan akupun masih gemetaran, takut.
       Waktupun terus berjalan, dan aku juga mempunyai teman yang memberi sinyal akan menikahiku. Namun saat itu, anak ibu kosku juga terus mengejar. Aku putuskan untuk segera menikah. Tapi, orang yang memberi sinyal untuk menikahiku juga tak kunjung melamar. Sampai akhirnya datang seseorang, yang aku tidak kenal sebelumnya. Saat itu tidak kujawab. Karena aku berharap temanku itu yang melamarku. Dan aku tahu hukumnya menolak lamaran, orang yang beribadah cukup bagus. Sebelum aku mengiyakan lamaran itu, aku hubungi temanku dan aku bilang "Mas, ada orang yang mau melamarku. Piye ini?' Padahal aku berharap jawabannya, jangan, tunggu aku akan segera melamarmu. Tapi tak kuduga jawabannya. "Yo trima aja loh, kalau ibadahnya bagus, dan tanggung jawab". Pyar....akhirnya aku berpikir, ternyata dia tidak serius. 
         Tiga hari kemudian, orang yang mau melamarku itu datang lagi, menanyakan jawabanku. Aku menjawab, "Sampeyan sanggup ta mengikuti syaratku....?' ". Dia langsung reaksi. "Apa syaratnya, ?"
"Pertama, mendapat ridlo dari orangtua, kedua, tidak meninggalkan sholat 5 waktu berjamaah, ketiga tidak merokok....". Aku berharap dari syarat yang ketiga itu dia keberatan, karena aku tahu dia seorang perokok. Tapi tak kusangka, dia jawab, "Insya Allah sanggup". Aku bingung. Tapi aku sudah mengajukan syarat. Itu artinya masih bisa lanjut. Dan akupun menjawab "Baiklah, kita istikhoroh dulu. Karena ini bukan main-main. Dan saya harus menyampaikan pada orang tua saya. Tolong, jangan sering kesini". Dan kulihat wajahnya sangat sumringah campur merah, dimana aku tidak tahu perasaannnya, dia senang atau takut dengan syarat yang aku ajukan.
       Setelah aku mengajukan syarat, tanda lampu kuning menuju pinangan, aku mendapat telepon dari orang yang kuharapkan melamarku. Dan waktu itu setelah salam, langsung aku ucapkan, "Mas, aku sekarang sedang dalam proses....", tapi tak kusangka jawabannya "Pean ini piye se kok gak ngerti atiku. Kok gak sabar. Aku gak iklas". "Lho Njenengan kan yang bilang, trimoen wes dek yen ibadahe apik". Tanganku gemetar. Dan dia menutup teleponnya dari jauh. Tidak lama kemudian, telepon berdering lagi, ternyata sapaan anak ibu kosku yang dulu. Aku semakin mantap untuk memutuskan segera menikah. Mungkin ini jawaban Allah, agar aku tidak menjadi pusat perbuatan dosa. Dalam doa aku ucapkan, "Ya Allah, jika kuterima lamaran orang ini, maka jadikanlah ini jalan yang terbaik dan terbebas dari kejaran orang-orang yang hanya main-main saja dengan hati dan hidupnya". Lindungi hambamu ini Ya Rab...". 
        Seminggu setelah aku kenalan, akupun dikhitbah. Dan satu bulan kemudian aku menikah. Namun sepenggal hati ini pernah berharap menikah dengan Ikhwan Sholeh yang dulu itu terkadang masih timbul. Tak kusangka, saat resepsi pernikahanku Ikhwan Sholeh datang bersama istrinya, dengan indahnya istrinya berbisik, "Mbak, poleslah hati untuk mendapat ridlo Alllah. Aku akan selalu mendoakanmu". Suaminya juga berbisik kepada suamiku "Tolong jaga hati istrimu, dan maaf, kalau dia selalu ada dalam doaku".
Kini kami seperti saudara. Insya Allah selalu menjaga tali silaturrahmi, dan saling mendoakan.

Diceritakan oleh seseorang padaku.
Lumajang, 11 September 2017

Ummi Fitri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPARUH JIWAKU HARUS KULEPAS

Kekuatan Hati Wanita

Anak madunya, dia ambil