Anak madunya, dia ambil

Saya Kurang Apa Ustadzah?
(kisah nyata, di tahun 2011, Rumah Darmokali 7A Surabaya)

        Putri pertamanya (panggil Titi = samaran) teman anakku yang kedua, putri keduanya (panggil Tata = samaran) teman anakku yang ketiga. Kami bersahabat, layaknya kakak dan adik. Kebetulan aku ustadzah dari anak-anaknya, dan tempat sharing seluruh keluarganya. Semua keluarganya, mulai dari mbah kakung, mbah uti, budhe, om dan keponakan-keponakannya kenal baik dengan kami, layaknya saudara.
     Siang itu sepulang anak-anak sekolah, dia yang biasa kupanggil Bunda seperti putri-putrinya memanggilnya datang dan langsung masuk ke ruanganku, sambil berlinangan air mata. "Ustadzah, apa salah saya Ustadzah, apa kekurangan saya Ustadzah?" sambil terus menangis kubiarkan. Kutunggu sampai dia tenang sambil memberinya minum. "Ada apa Nda?" tapi dalam hati aku sudah menerka dari kalimat yang dia ucapkan. 
          "Papanya anak-anak punya selingkuhan Ustadzah...." sambil merangkulku erat-erat. Tak terasa air mataku menetes juga, karena dia menangis dalam pelukanku. "Saya menemukan videonya Ustadzah....mereka sudah jauh berhubungan". Hatiku semakin berdebar : "Sudah, masalah gak akan selesai kalau terus begini. Apa yang Bunda inginkan?" Sambil terisak dia jawab :"Saya mau cerai saja Ustadzah....". Dari kata-kata itu, otakku berpikir, dan hatiku berkecamuk, jangan sampai aku memberi wejangan yang salah. "Bunda..., jangan tergesa-gesa memutuskan sesuatu, lihat anak-anak, mereka sangat dekat dengan papanya. Jika kalian bercerai, yang paling berat merasakan dampaknya adalah anak2. Istighfarlah yang banyak. Sudah sholat belum tadi, kalau belum ayo sekarang kita sholat dulu". Dia menuruti ucapanku untuk segera melaksanakan sholat dhuhur. Setelah sholat, dia pamitan pulang, "Saya pamit dulu Ustadzah, waktunya anak-anak makan siang...". Padahal hatinya masih kacau, tapi dia masih ingat anak-anaknya.
         Selepas ashar, suaminya ngenteng pintu pagar rumah kami. Suamiku mempersilakan masuk, dan akupun menemuinya. "Ustadzah....". Hanya berkata Ustadzah kala itu dan terus terdiam tak berkata apa-apa. Akhirnya akupun bicara :"Istighfarlah, dan bertaubatlah, masalah njenengan tidak akan selesai dengan hanya diam". Baru dia bicara : "Saya harus bagaimana Ustadzah....?"
     "Laki-laki, dibekali akal lebih oleh Allah, maka jangan gegabah". "Ngge Ustadzah, saya harus bagaimana sekarang". Tak terasa aku pun tarik nafas panjang "berbuatlah adil sesuai syariat, bagi Bunda mungkin itu menyakitkan, tapi njenengan juga tidak boleh mengesampingkan keberadaan wanita tersebut. Wanita itu juga manusia. Terima saja apa yang dilakukan Bunda pada njenengan, dan diam saja. Jika Bunda minta njenengan bicara, maka bicaralah untuk ke depannya bagaimana. Jangan lupa minta maaf, dan istighfarlah". "Ngge Ustadzah, terima kasih, saya pamit dulu."
        Jam 20.30, waktu itu HPku berdering tanpa salam suami Bunda bicara "Ustadzah, Bunda gak ada, semua ATM ditinggal, HP juga ditinggal...., apa ada di rumah Ustadzah...". Kepalaku serasa mau pecah. "Astaghfirrullah.... gak ada Pak, coba dicari di rumah sahabat2nya, dan tolong anak2 titipkan ke budhenya dulu". "Ngge Ustadzah, trima kasih...". Klik, telepon ditutup. Kuceritakan langsung pada suami. Ini sudah malam. Aku duduk termenung, bayanganku terus berputar, dan hatiku berbicara, tidak mungkin bunda melakukan hal yang negatif, aku mengerti dia. Tengah malam terbangun sesudah sholat lail aku khusus berdoa untuknya waktu itu, mohon petunjuk dan mohon dimudahkan cara menyelesaikan keluarga mereka. Pikiranku berputar...., menjelajah siapa saja dan apa saja yang pernah bunda ungkapkan padaku....."Pesantren"....ya, bunda pernah menanyakan dunia pesantren di pulau sebrang. Keesokan harinya aku keliling mencari bunda ke rumah sahabat-sahabatnya yang pernah aku kenal, bak detektif. Namun hasilnya nol.
        Tiga hari berikutnya, setelah sholat Isya, "Ustadzah...., Bunda nelpon menanyakan keadaan anak-anak, ini setelah saya lacak, nomer daerah Madura ujung timur". Begitu ucapan suaminya dan kujawab "kemarilah, bawa kendaraan jemput suami saya, tenangkan yang di rumah, jangan sampai tahu anak2 kalau bundanya pergi karena sedih masalah Njenengan". Aku pun bergegas bicara pada suami saat itu ada di rumah, "Bi, suami bunda bilang, kalau bunda ada di daerah Madura. Tolong kawal beliau. Feeling Ummi, bunda ada di daerah pesantren Al Amin Sumenep". Tanpa babibu lagi, suamiku berkemas menyiapkan diri menunggu suami bunda.


  
         Malam itu aku gak bisa tidur, menunggu kabar dari suami, pas jam 00.30 masuk dini hari, suami menelpon, "Assalaamualaikum..., Ummi..Alhamdulillah bunda sudah ditemukan...". Pyar....enteng rasanya badanku dan kuucap "Allahu akbar, Alhamdulillah. Tolong kasihkan HP Abi ke suami bunda. Ummi mau bicara sebentar".
Saya : "Assalaamualaikum..."
Suami bunda : "Waalaikum salam..."
Saya : "Tunjukkan kalau njenengan masih cinta sama bunda, jangan banyak bicara, diam saja, peluklah bunda tetap peluk meski dia menolak, wanita tidak akan marah dengan bahasa pelukan. Dengarkan saja petuah dari tuan rumah yang menampung bunda".
Suami bunda : "Ngge Ustadzah..., trima kasih banyak atas petunjuk Ustadzah..".
Dari Madura mereka nyampe Surabaya lagi jam 06.00, dan anak-anak persiapan berangkat sekolah.
       Selang beberapa bulan, "Ustadzah, selingkuhan papa sudah hamil 4 bulan, saya sudah bikin perjanjian, bahwa anak itu nanti akan saya ambil mulai dari lahir". Jleb, aku bingung, disatu sisi itu yang diinginkan bunda di sisi lain aku berfikir, tidak salahkah bunda akan memisahkan bayi tidak bersalah itu dengan ibu kandungnya?.... "Bunda, kenapa ambil keputusan itu?"...
Bunda : "Perempuan itu gak mengharapkan bayinya lahir Ustadzah, dia berniat membuangnya, dan Papa gak mau menceraikan saya. Saya juga kasihan anak itu nanti kalau gak punya akte kelahiran karena tidak nikah resmi. Maka saya ambil anak itu, dan aktenya ada nama papanya tapi ibunya saya yang tercantum". Aku bungkam seribu bahasa, dan berpikir, beginikah cara Allah memberi jalan? 
       Dua bulan kemudian,  bunda datang, "Assalamualaikum Ustadzah,...". " Waalaikum salam....., kok kelihatan pucat Bun, kurang tidur ta?"...Seperti biasa dia langsung cari tempat untuk selonjor tanda dia mau bicara banyak. "Ustadzah, ....saya hamil 3 bulan, (diam dan mengelus-elus perutnya tanda kasih sayang ibu kepada jabang bayinya). "Itu artinya Allah memberi jawaban bahwa njenengan tidak boleh bercerai. Allah itu unik dalam memberikan jawaban, yang kita tidak menyangka sebelumnya. Bunda harus lebih dekat pada Allah dan sabar". "Iya Ustadzah, tapi saya tetap akan ambil bayi perempuan itu meski saya juga hamil. Sekarang yang sana sudah 7 bulan. Besok waktunya kontrol Ustadzah, karena bayinya mau saya ambil, maka mulai sekarang pun saya ikut ngontrol kesehatan janinnya". Dalam hatiku, "Ya Rab, aku tidak mengerti dengan skenario yang Engkau buat, wanita ini begitu mulia meski awalnya tidak terima". 
    Hari yang dinanti, kelahiran jabang bayi yang tidak diinginkan ibu kandung itu tiba. "Dari kejauhan berbunyi, "Ustadzah, Alhamdulillah anaknya laki-laki (Tito = samaran). bayi ini menjadi bayi saya ustadzah...". Aku hanya melongo sambil memegang HP. Dan keesokannya, bayi itu sudah berada di rumah bunda. Akupun datang sebagai tanda penghormatan datangnya mahluk mungil ciptaan Allah. Tidak ada raut benci sedikitpun di mata bunda dan putri-putrinya. Mereka menyambut bayi laki-laki itu dengan suka cita. Tata "Ustdazah, iniloh adekku, bukan adeknya kakak..". Titi menyahut, "enak aja, ini adekku yek, aku yang gantiin popok...". Bundanya pun tersenyum dalam kondisi hamil 5 bulan. "Sudah-sudah, kasihan dedek Tito kalau berisik, ini adeknya kakak berdua, nanti kalau sdh agak gede, kalian bisa ajak jalan bareng ke taman Bungkul". Bunda mengambil si bayi untuk diberi susu, otomatis, dari bayi Tito tidak mengenal ASI sama sekali, karena ibunya tidak mau menyusui. Yang dia terima adalah kasih sayang bunda dan kakak-kakak cantiknya.
     Waktu terus berjalan,  4 bulan kemudian bunda melahirkan di Rumah Sakit dekat rumahnya. Begitu dikontak, sayapun datang. Pemandangan yang membuatku takjub, Tito menempel di atas pelukan bunda, dan bayi yang baru dilahirkan tidak ada di sampingnya. "Assalaamualaikum...", aku menyapa mereka. Di situ ada kakaknya bunda anak-anak memanggilnya ibuk. Ibu tersenyum lebar seraya berkata "Waalaikum salam...eh Ustadzah. Tito, ituloh ada Ustadzah". Setelah bersalaman, kembali ke Tito. Eh malah peluk erat sama bunda. "Tito...ayo salim dulu sayang...nanti sama bunda lagi. Sekarang  gantian adek Tati yg sama bunda ya". Tito diajak Budhenya pulang. Suster memberikan Tati bayi perempuan yang baru lahir untuk disusui bundanya. Decak kagumku tiada henti, aku melihat ketulusan bunda dalam menyayangi Tito anak dari selingkuhan suaminya.
    Seperti dalam cerita sinetron saja kisah nyata ini, kini Tito dan Tati tumbuh layaknya anak kembar. dan saudara-saudaranya sangat menyayanginya, apalagi dia anak laki-laki sendiri di rumahnya. Begitu banyak keistimewaan Allah dalam menciptakan mahluk berbentuk manusia. hati Wanita tidak bisa ditebak, dimana orang lain menduga bunda akan benci dan tak peduli pada anak selingkuhan suaminya, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Dan akupun tidak bisa menjawab pertanyaan bunda yang dahulu,"Saya kurang apa Ustadzah?"  Allahu Akbar.

Lumajang, 3 Sept 2017
Ummi Fitri
    
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPARUH JIWAKU HARUS KULEPAS

Kekuatan Hati Wanita